Selasa, 16 September 2014

Dakwah Islam di Sriwijaya

Kerajaan Sriwijaya, Dakwah Islam dan
Pelarian Politik 
Serta  Bahasa dan Istiadat Palembang
Add caption
Berdasarkan catatan Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara parwa I sarga 3, pada sekitar tahun 536 Masehi ditepian sungai musi, telah ada sebuah pelabuhan Internasional.
Pelabuhan ini, menjadi sarana pengiriman barang berupa tanaman gaharu, rempah wangi, pala, dan kapur barus, ke berbagai Negara seperti Yaman, Mesir, Cina, India, Persia dan sebagainya.
Pelabuhan Internasional ini merupakan sebuah wilayah otonom, yang bernama Sriwijaya, dan daerah ini berada di bawah kendali Kerajaan Melayu, Sribuja.
Sriwijaya dan Utusan Rasulullah
            Pada sekitar tahun 628 M, penguasa Sriwijaya kedatangan utusan dari Tanah Arab, bernama Akasyah bin Muhsin al-Usdi. Akasyah diutus oleh Nabi akhir zaman, Muhammad Rasulullah, untuk menyampaikan dakwah Islam, kepada Penguasa Sriwijaya.
Utusan Rasulullah ini, mendapat sambutan yang baik, oleh Penguasa Sriwijaya ketika itu. Salah satu alasannya, Islam adalah ajaran monotheisme, yang memiliki kemiripan dengan keyakinan yang dianut sebagian bangsawan Sriwijaya.
Keyakinan Monotheisme di Kerajaan Sriwijaya, dikenal sebagai Ajaran Braham (ajaran monotheime peninggalan Nabi Ibrahim). Keberadaan ajaran Braham pada saat itu, bisa terliihat pada catatan Fa Xian/Fa Shien sepulang dari India di era tahun ke-7 Kaisar Xiyi (411M)…
“Kami tiba di sebuah negeri bernama Yapoti (Jawa dan atau Sumatera) di negeri itu Agama Braham sangat berkembang, sedangkan Buddha tidak seberapa pengaruhnya.“
Hal ini, semakin diperkuat dengan adanya pendapat yang mengatakan, pada sekitar tahun 607 Masehi, telah ada Kerajaan Sriwijaya (Sriboza) yang bercorak Brahminik (Early Indonesian Commerce : A Study of the Origins of Srivijaya, by Wolters, 1967 dan Maritime Trade and State Development in Early South East Asia, by K.R. Hall, 1985)
Untuk kemudian dakwah Islamiyah di tanah Sriwijaya ini terus berlanjut, terutama dilakukan oleh Para Pedagang dari jazirah Arab.
Bahkan salah seorang Penguasa Sriwijaya, yang bernama Sri Indrawarman, diperkirakan seorang muslim, yang menjalin persahabatan dengan Khalifah Islam, Umar bin Abdul Aziz.

Sejarah Pemerintahan Sultan –Sultan di Kerajaan Sriwijaya             
            Pada masa lalu adalah cikal bakal berdirinya kerajaan-kerajaan dipulau Jawa.
Dalam manuskrip sejarah Palembang diceritakan : Alkisah tersebutlah dalam satu masa di Bukit Siguntang duduk memerintah seorang raja bernama Raja Sulan yang mempunyai dua orang putra, masing-masing bernama Alim dan Mufti. Alim menjadi sultan setelah ayahandanya wafat, sedangkan Mufti menjadi sultan di Gunung Meru. Setelah Sultan Alim wafat ia digantikan oleh putranya tanpa melalui musyawarah dengan pamannya Sultan Mufti. Karena itu Sultan Mufti bermaksud untuk menurunkan putra Sultan Alim dari kedudukannya sebagai sultan di Bukit   Siguntang.
            Mendengar cerita tersebut maka putra Sultan Alim beserta rakyat dan pasukannya meninggalkan Bukit Siguntang menuju Indragiri. Mereka menetap di suatu daerah yang mereka pagari dengan uyung sebagai tempat pertahanan. Kemudian tempat tersebut bernama pagaruyung (Padang, Sumatera Barat). Setelah Sultan Mufti wafat, ia digantikan oleh putranya dengan pusat pemerintahan di Lebar Daun bergelar Demang Lebar Daun hingga tujuh turun lebih.
            Demang Lebar Daun ini mempunyai seorang saudara kandung bergelar Raja Bungsu. Kemudian Raja Bungsu tersebut hijrah ke tanah Jawa, dinegeri Majapahit, bergelar Prabu Anom Wijaya atau Prabu Wijaya/Brawijaya sampai tujuh turun pula. Brawijaya yang terakhir memiliki putra bernama Aria Damar atau Aria Dilah dikirim ke tanah asal nenek moyangnya yaitu Palembang, ia dinikahkan dengan anak Demang Lebar Daun dan diangkat menjadi raja (1445 – 1486).
            Ia juga mendapat kiriman seorang putri China yang sedang hamil, yakni istri ayahnya yang diamanatkan kepadanya untuk mengasuh dan merawatnya. Sang putri ini melahirkan putrj yang diberi nama Raden Fatah atau bergelar Panembahan Palembang, yang kemudian menjadi raja pertama di Demak. Pada saat Raden Fatah menjadi Raja Demak (1478 – 1518), ia berhasil membesarkan kekuasaannya dan menjadikan Demak Kerajaan Islam pertama di Jawa.         
            Akan tetapi kerajaan Demak tidak mampu bertahan lama karena terjadinya perang saudara, setelah kerajaan Demak mengalami kemunduran, muncullah Kesultanan Pajang. Penyerangan Pajang ke Demak mengakibatkan sejumlah bangsawan Demak melarikan ke Palembang. Rombongan dari Demak yang berjumlah 80 orang di kepalai oleh Sido Ing Lautan (1547-1552) menetap di Palembang Lamo (1 Ilir) yang saat itu Palembang dibawah pimpinan Dipati Karang Widura, keturunan Demang Lebar Daun.
            Mereka mendirikan istana Kuto Gawang dan Masjid di Candi Laras (Pusri sekarang). Pengganti Pangeran Sido Ing Lautan adalah anaknya, Ki Gede Ing Suro (1552-1573), setelah wafat digantikan oleh Kemas Anom Adipati Ki Gede Ing Suro Mudo (1573-1630). Kemudian diganti saudaranya Sultan Jamaluddin Mangkurat II Madi Alit (1629-1630). Kemudian Sultan Jamaluddin III Sido Ing Puro (1630-1639). Sultan Jamaluddin Mangkurat IV Sido Ing Kenayan (1639-1650). Sultan Jamaluddin Mangkurat V Sido Ing Peserean (1651-1652). Sultan Jamaluddin Mangkurat VI Sido Ing Rejek (1652-1659). Sultan Jamaluddin VII Susuhan abdurrahman Candi Walang (1659-1706). Sultan Muhammad Mansyur (1706-1714). Sultan Agung Komaruddin (1714-1724). Sultan Mahmud Badaruddin (1724-1757), dst.
            Pada abad ke-16 di Palembang mulai terbentuk dan tumbuh suatu pemerintahan yang bercorak Islam. Pangeran Aria kesumo (Kemas Hindi) pada tahun 1666 memproklamirkan Palembang menjadi negeri Kesultanan beliau bergelar Sultan Abdurrahman Khalifatul Mukminin Sayidul Imam berkuasa (1659-1706). Kesultanan Palembang Darussalam mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin II pada awal abad ke-19. Pada masanya dibangun Masjid Agung Palembang dan Benteng Kuto Besak. Dengan demikian Islam telah menjadi agama Kesultanan Palembang Darussalam dan pelaksanaan hukum Islam berdasarkan ketentuan resmi hingga berakhirnya Kesultanan Palembang Darussalam pada tahun 1823 yang dibubarkan oleh pemerintah kolonial Belanda
            Dengan demikian jelaslah bahwa bahwa sejarah Melayu Palembang dalam perkembangannya dipengaruhi budaya Jawa , yang paling tidak masih dapat kita sekarang ini antara lain : Rumah Limas, pakaian adat, dan bahasa.
            Bebaso Bahasa Palembang berasal dari bahasa Melayu Tua yang berbaur dengan bahasa Jawadan diucapkan menurut logat/dialek Wong Pelembang. Seterusnya bahasa yang sudah menjadi milik Wong Palembang ini diperkaya pula dengan bahasa-bahasa Arab, Urdhu, Persia, China, Portugis, Inggris, dan Belanda. Sedangkan aksara bahasa Melayu Palembang menggunakan aksara Arab (Arab-Melayu) atau tulisan Arab berbahasa Melayu (arab gundul/pagon).
Kesultanan Palembang Darussalam mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin II pada awal abad ke-19.

Sriwijaya dan Pelarian Politik
Sebagian penduduk Kerajaan Sriwijaya, jika diselusuri secara genealogy, ternyata ada yang masih terhitung kerabat Kerajaan Persia.
Hal ini tergambar di dalam kitab sejarah melayu, yang mengisahkan pemimpin wilayah Palembang, Demang Lebar Daun, merupakan anak cucu Raja Sulan, keturunan dari Raja Nusirwan ‘Adil bin Kibad Syahriar (King Anushirvan “The Just” of Persia, 531-578 M).
Ada dugaan keberadaan keluarga Kerajaan Persia ini, dikarenakan terjadinya konflik internal di Persia, sepeningal Raja Nusirwan ‘Adil, yang berakibat, sebagian Bangsawan Persia mengungsi ke Kerajaan Sriwijaya.
Para pelarian politik Persia ini, dimanfaatkan oleh para penguasa Sriwijaya, untuk dijadikan instruktur di angkatan perang-nya. Bahkan dalam upaya memperkuat pasukannya, Kerajaan Sriwijaya mendirikan pangkalan militer di daerah Minanga yang berada di tepian sungai komering.
Pada tahun 669 Masehi, Sriwijaya dipimpin oleh Dapunta Hiyang Sri Jayanaga. Sang Raja, dikenal seorang yang sangat berwibawa, dan dengan kekuatan angkatan perang-nya, yang sangat terlatih. Sriwijaya mulai menaklukkan beberapa daerah disekitarnya. Bahkan kemudian Kerajaan induknya, Kerajaan Sribuja berhasil dikuasai.
Pelarian politik juga berasal dari wilayah Cina. Kedatangan mereka ini disebab-kan terjadinya peristiwa pemberontakan petani-petani muslim Cina terhadap kekuasaan Dinasti T’ang di masa pemerintahan Kaisar Hi-Tsung (878-889 M).
Kaum muslimin banyak mati dibunuh dalam pemberontakan itu, sehingga mereka yang selamat melarikan diri ke berbagai negara, termasuk ke kota Palembang, yang menjadi pusat Kerajaan Sriwijaya.
Keberadaan Pelarian Politik asal Persia dan Cina, Kemudian Para Pedagang Arab yang sekaligus juga juru dakwah Islam, serta berdirinya pusat-pusat pengajaran agama Buddha di Kerajaan Sriwijaya, menunjukkan bahwa negeri ini, merupakan daerah yang sangat pluralis, dimana penduduknya terdiri atas berbagai suku dan ras, serta memiliki keyakinan yang beragam.
WaLlahu a’lamu bishshawab

Catatan :
1. Keberadaan Akasyah bin Muhsin al-Usdi di Sriwijaya, diperkirakan setelah perjanjian Hudaibiyah tahun 6H. Pada masa itu, Rasulullah memperkenalkan Islam melalui surat yang beliau kirimkan, kepada para penguasa, pemimpin suku, tokoh agama nasrani dan lain sebagainya.
2. Pendapat yang mengatakan Akasyah bin Muhsin al-Usdi di Sriwijaya, pada sekitar tahun 2H, nampaknya perlu diteliti lebih mendalam lagi. Hal ini disebabkan, berdasarkan fakta sejarah, pada saat tersebut, kaum muslimin sedang berkosentrasi menghadapi kaum kafir Quraish. Jadi terasa agak aneh, jika ada sahabat yang berada jauh dari kota madinah.
Tradisi Masyarakat Islam
Tradisi ibadah yang terkodifikasi tanpa modifikasi ini termasuk ibadah wajib (makhdhoh) dan ibadah sunnah muakadah. Terkadang pada sunah muakadah seperti aqiqah, khitan, akad nikah dan walimah ada kesan ada tambahan dalamm pelaksanaannya. Selama tidak bertentangan dengan ajaran tidak bermasalah. Acara tasyakur (di Indonesia : Syukuran), dalam Islam secara sederhana dalam bentuk berhamdalah, berbagi melalui tasyakuran dengan tidak berlebih-lebihan (berfoya-foya, kegiatan mubadzir), dan meningkatkan aktivitas beribadah (berupa shalat dan berkurban : QS Al Kautsar [108] ayat 1-2). Ritual kematian, sebagai kewajiban kifayah yaitu selesai setelah prosesi penguburan jenazah, tinggal ahli waris melakukan amanah sebagai anak sholeh yang selalu mendoakan bagi almarhum/ah dan beramal sholeh setiap saat yang tidak ditentukan dengan waktu-waktu tertentu. Bagi umat Islam, menurut ajaran Islam bahwa untuk selalu berhati-hati dalam melakukan ritual yang dianggap ibadah karena tuntutan tradisi, karena dikhawatirkan amalnya akan tertolak dan mendatangkan kerugian jangka panjang hingga di hari Perhitungan kelak. Dan banyak ritual tradisi yang menurut kebanyakan umum belum tentu sesuai dengan tuntunan ajaran Islam, karena hanya berdasarkan warisan dari orangtua-orangtua mereka secara lisan tanpa terkodifikasi dan sesuai dengan tuntunan ajaran Islam.

BAHASA DAN ADAT ISTIADAT SUKU PALEMBANG
* Bahasa
Bahasa Palembang mempunyai dua tingkatan, yaitu Bahaso Pelembang Alus atau Bebahaso dan  Bahaso Pelembang Sari-sari. Bahaso Pelembang Alus dipergunakan dalam percakapan dengan pemuka masyarakat, orang-orang tua, atau orang-orang yang dihormati, terutama dalam upacara-upacara adat. Bahasa ini berakar pada bahasa Jawa karena raja-raja Palembang berasal dari Kerajaan Majapahit, Kerajaan Demak, dan Kerajaan Pajang. Itulah sebabnya perbendaharaan kata Baso Pelembang Alus banyak persamaannya dengan perbendaharaan kata dalam bahasa Jawa.

            Sementara itu, Bahaso sehari-hari dipergunakan oleh wong Palembang dan berakar pada bahasa Melayu. Dalam praktiknya sehari-hari, orang Palembang biasanya mencampurkan bahasa ini dan Bahasa Indonesia (pemilihan kata berdasarkan kondisi dan koherensi) sehingga penggunaan bahasa Palembang menjadi suatu seni tersendiri.

            Bahasa Palembang memiliki kemiripan dengan bahasa daerah provinsi di sekitarnya, seperti Jambi, Bengkulu bahkan Jawa (dengan intonasi berbeda). Di Jambi dan Bengkulu, akhiran 'a' pada kosakata bahasa Indonesia yang diubah menjadi 'o' banyak ditemukan.

Asal-usul Baso Pelembang Alus hampir menyerupai bahasa Jawa, oleh sebab itu banyak orang berasumsi bahwa bahasa Palembang berasal dari Jawa. Namun pada dasarnya tidaklah demikian, bahkan sebaliknya, identitas Palembang sebagai korabolasi dari kebudayaan Melayu-Jawa terlepas dari sejarah Palembang itu sendiri. Menurut sumber sejarah lokal, Kesultanan Palembang muncul melalui proses yang panjang dan berkaitan erat dengan kerajaan-kerajaan besar dipulau Jawa. Seperti Kerajaan Majapahit, Demak, Pajang, dan Mataram. Palembang (Melayu-Sriwijaya)

*                Adat Istiadat

§  Seni

            Sejarah tua Palembang serta masuknya para pendatang dari wilayah lain, telah menjadikan kota ini sebagai kota multi-budaya. Sempat kehilangan fungsi sebagai pelabuhan besar, penduduk kota ini lalu mengadopsi budaya Melayu pesisir, kemudian Jawa. Sampai sekarang pun hal ini bisa dilihat dalam budayanya. Salah satunya adalah bahasa. Kata-kata seperti "lawang (pintu)", "gedang (pisang)", adalah salah satu contohnya. Gelar kebangsawanan pun bernuansa Jawa, seperti Raden Mas/Ayu. Makam-makam peninggalan masa Islam pun tidak berbeda bentuk dan coraknya dengan makam-makam Islam di Jawa.

Kesenian yang terdapat di Palembang antara lain:
·         Kesenian Dul Muluk (pentas drama tradisional khas Palembang)
·         Tari-tarian seperti Gending Sriwijaya yang diadakan sebagai penyambutan kepada tamu-tamu dan tari Tanggai yang diperagakan dalam resepsi pernikahan
·         Lagu Daerah seperti Melati Karangan, Dek Sangke, Cuk Mak Ilang, Dirut dan Ribang Kemambang
·         Rumah Adat Palembang adalah Rumah Limas dan Rumah Rakit
·         Selain itu Kota Palembang menyimpan salah satu jenis tekstil terbaik di dunia yaitu kain songket. Kain songket Palembang merupakan salah satu peninggalan Kerajaan Sriwijaya dan di antara keluarga kain tenun tangan kain ini sering disebut sebagai Ratunya Kain.

            Hingga saat ini kain songket masih dibuat dengan cara ditenun secara manual dan menggunakan alat tenun tradisional. Sejak zaman dahulu kain songket telah digunakan sebagai pakaian adat kerajaan. Warna yang lazim digunakan kain songket adalah warna emas dan merah. Kedua warna ini melambangkan zaman keemasan Kerajaan Sriwijaya dan pengaruh China di masa lampau. Material yang dipakai untuk menghasilkan warna emas ini adalah benang emas yang didatangkan langsung dari China, Jepang dan Thailand. Benang emas inilah yang membuat harga kain songket melambung tinggi dan menjadikannya sebagai salah satu tekstil terbaik di dunia.
            Selain kain songket, saat ini masyarakat Palembang tengah giat mengembangkan jenis tekstil baru yang disebut batik Palembang. Berbeda dengan batik Jawa, batik Palembang nampak lebih ceria karena menggunakan warna - warna terang dan masih mempertahankan motif - motif tradisional setempat.

            Kota Palembang juga selalu mengadakan berbagai festival setiap tahunnya antara lain "Festival Sriwijaya" setiap bulan Juni dalam rangka memperingati Hari Jadi Kota Palembang, Festival Bidar dan Perahu Hias merayakan Hari Kemerdekaan, serta berbagai festival memperingati Tahun Baru Hijriah, Bulan Ramadhan dan Tahun Baru Masehi.

Perkawinan
Budaya pernikahan ada akad dan walimahan , maka sebelum nikah ada acara pingitan atau siraman, sesudah akad nikah acara lempar pantun atau cacap-cacapan (budaya Palembang).
          Melihat adat perkawinan Palembang, jelas terlihat bahwa busana dan ritual adatnya mewariskan keagungan serta kejayaan raja-raja dinasti Sriwijaya yang mengalaimi keemasan berpengaruh di Semananjung Melayu berabad silam. Pada zaman kesultanan Palembang berdiri sekitar  abad 16 lama berselang setelah runtuhnya dinasti Sriwijaya, dan pasca Kesultanan pada dasarnya perkawinan ditentukan oleh keluarga besar dengan pertimbangan bobot, bibit dan bebet.
            Pada masa sekarang ini perkawinan banyak ditentukan oleh kedua pasang calon mempelai pengantin itu sendiri. Perkawinan Palembang juga memiliki ciri khas yang berbau islam yaitu pada pengantin laki-laki sebelum duduk di pelaminan yaitu didahulukan degan adat Palembang yaitu  ngarak. Ngarak ini diiringi dengan rebana dan pengantin perempuan dan keluarga pengantin perempuan menyambut di tempat resepsi. Adat ini tetap berjalan seiring dengan berkembangan jaman.

§     Sunatan Secara Adat Palembang

            Adat dan budaya Palembang adalah berlandaskan ajaran-ajaran Islam. Dengan demikian apabila kita menggali, menghidupkan serta menyemarakkan kembali adat dan budaya Palembang itu sama saja artinya kita menghidupkan
serta menyemarakkan Syiar Agama Islam. Oleh karena nuansa Islami yang kental inilah sehingga Ibadat menjadi Adat.
            Acara sunatan dengan adat Palembang paling tidak memberikan gambaran pelaksanaan adat tempo doeloe yang diwariskan oleh Kesultanan Palembang Darussalam kepada kita hingga sekarang. Untuk lebih mengenal dan melihat bagaimana pelaksanaan acara adat terutama tamatan dan sunatan di kota Palembang tempo doeloe, berikut ini kita hingga kurun tahun 1917 (masa Kolonial).
            Menurut RM Hasir, Demang Palembang Ilir, dalam Monografie dari Districshoofd Palembang Ilir, (1917), melukiskan pelaksanaan syukuran kedua acara tersebut seperti berikut:


Adat Menamatkan

Adat yang paling utama dan masih dipakai oleh anak negeri waktu itu adalah tentang pemeliharaan anak. Anak yang telah berusia kira-kira 4-5 tahun, maka ia dibawa kepada seorang ustaz untuk belajar mengaji Alquran. Orangtua atau wali anak tersebut membawa satu rago (bakul/keranjang) berisi 20 keping opak, satu tandan pisang mas, sepiring nasi gemuk (uduk) dengan sebutir telor ayam yang direbus dibenamkan di tengah-tengah nasi itu dan satu botol minyak pasang yang maknanya supaya anak itu terang hatinya.
            Kalau anak itu sudah dapat pertengahan Quran mengajinya, maka guru itu pun diberi pula nasi kunyit panggang ayam, opak, dan pisang mas
selamatan. Setelah khatam (tamat) Alquran, apabila orangtuanya ada keluasan rezeki, maka anak itu diselamatkan tamat Quran. Waktu gurunya diberi sekurang-kurangnya 6 piring juadah kue), 1 nasi dengan 6 piring gulai ayam, 2 gogok/geleta serbat (air jahe), 12 cangkir srikaya, 1 helai kain, baju, kopiah, dan satu sejadah petamatan namanya serta diberi uang. Jika anak itu laki-laki, maka sekaligus ia langsung dikhitan (sunat), agar supaya tidak terlalu repot mengerjakannya dua tiga kali.