Add caption
Berdasarkan catatan Pustaka
Rajyarajya i Bhumi Nusantara parwa I sarga 3, pada sekitar tahun 536 Masehi
ditepian sungai musi, telah ada sebuah pelabuhan Internasional.
Pelabuhan ini, menjadi sarana
pengiriman barang berupa tanaman gaharu, rempah wangi, pala, dan kapur barus,
ke berbagai Negara seperti Yaman, Mesir, Cina, India, Persia dan sebagainya.
Pelabuhan Internasional ini
merupakan sebuah wilayah otonom, yang bernama Sriwijaya, dan daerah ini berada
di bawah kendali Kerajaan Melayu, Sribuja.
Sriwijaya dan Utusan
Rasulullah
Pada sekitar tahun 628 M, penguasa
Sriwijaya kedatangan utusan dari Tanah Arab, bernama Akasyah bin Muhsin
al-Usdi. Akasyah diutus oleh Nabi akhir zaman, Muhammad Rasulullah, untuk
menyampaikan dakwah Islam, kepada Penguasa Sriwijaya.
Utusan Rasulullah ini, mendapat
sambutan yang baik, oleh Penguasa Sriwijaya ketika itu. Salah satu alasannya,
Islam adalah ajaran monotheisme, yang memiliki kemiripan dengan keyakinan yang
dianut sebagian bangsawan Sriwijaya.
Keyakinan Monotheisme di
Kerajaan Sriwijaya, dikenal sebagai Ajaran Braham (ajaran monotheime
peninggalan Nabi Ibrahim). Keberadaan ajaran Braham pada saat itu, bisa
terliihat pada catatan Fa Xian/Fa Shien sepulang dari India di era
tahun ke-7 Kaisar Xiyi (411M)…
“Kami tiba di sebuah negeri
bernama Yapoti (Jawa dan atau Sumatera) di negeri itu Agama Braham sangat
berkembang, sedangkan Buddha tidak seberapa pengaruhnya.“
Hal ini, semakin diperkuat
dengan adanya pendapat yang mengatakan, pada sekitar tahun 607 Masehi, telah
ada Kerajaan Sriwijaya (Sriboza) yang bercorak Brahminik (Early Indonesian
Commerce : A Study of the Origins of Srivijaya, by Wolters, 1967 dan Maritime
Trade and State Development in Early South East Asia, by K.R. Hall, 1985)
Untuk kemudian dakwah Islamiyah
di tanah Sriwijaya ini terus berlanjut, terutama dilakukan oleh Para Pedagang
dari jazirah Arab.
Bahkan salah seorang Penguasa
Sriwijaya, yang bernama Sri Indrawarman, diperkirakan seorang muslim, yang
menjalin persahabatan dengan Khalifah Islam, Umar bin Abdul Aziz.
Pada
masa lalu adalah cikal bakal berdirinya kerajaan-kerajaan dipulau Jawa.
Dalam manuskrip sejarah Palembang diceritakan : Alkisah tersebutlah dalam satu
masa di Bukit Siguntang duduk memerintah seorang raja bernama Raja Sulan yang
mempunyai dua orang putra, masing-masing bernama Alim dan Mufti. Alim menjadi
sultan setelah ayahandanya wafat, sedangkan Mufti menjadi sultan di Gunung
Meru. Setelah Sultan Alim wafat ia digantikan oleh putranya tanpa melalui
musyawarah dengan pamannya Sultan Mufti. Karena itu Sultan Mufti bermaksud
untuk menurunkan putra Sultan Alim dari kedudukannya sebagai sultan di
Bukit Siguntang.
Mendengar
cerita tersebut maka putra Sultan Alim beserta rakyat dan pasukannya
meninggalkan Bukit Siguntang menuju Indragiri. Mereka menetap di suatu daerah
yang mereka pagari dengan uyung sebagai tempat pertahanan. Kemudian tempat
tersebut bernama pagaruyung (Padang, Sumatera Barat). Setelah Sultan Mufti
wafat, ia digantikan oleh putranya dengan pusat pemerintahan di Lebar Daun
bergelar Demang Lebar Daun hingga tujuh turun lebih.
Demang
Lebar Daun ini mempunyai seorang saudara kandung bergelar Raja Bungsu. Kemudian
Raja Bungsu tersebut hijrah ke tanah Jawa, dinegeri Majapahit, bergelar Prabu
Anom Wijaya atau Prabu Wijaya/Brawijaya sampai tujuh turun pula. Brawijaya yang
terakhir memiliki putra bernama Aria Damar atau Aria Dilah dikirim ke tanah
asal nenek moyangnya yaitu Palembang, ia dinikahkan dengan anak Demang Lebar
Daun dan diangkat menjadi raja (1445 – 1486).
Ia
juga mendapat kiriman seorang putri China yang sedang hamil, yakni istri
ayahnya yang diamanatkan kepadanya untuk mengasuh dan merawatnya. Sang putri
ini melahirkan putrj yang diberi nama Raden Fatah atau bergelar Panembahan
Palembang, yang kemudian menjadi raja pertama di Demak. Pada saat Raden Fatah
menjadi Raja Demak (1478 – 1518), ia berhasil membesarkan kekuasaannya dan
menjadikan Demak Kerajaan Islam pertama di Jawa.
Akan
tetapi kerajaan Demak tidak mampu bertahan lama karena terjadinya perang
saudara, setelah kerajaan Demak mengalami kemunduran, muncullah Kesultanan
Pajang. Penyerangan Pajang ke Demak mengakibatkan sejumlah bangsawan Demak
melarikan ke Palembang. Rombongan dari Demak yang berjumlah 80 orang di kepalai
oleh Sido Ing Lautan (1547-1552) menetap di Palembang Lamo (1 Ilir) yang saat
itu Palembang dibawah pimpinan Dipati Karang Widura, keturunan Demang Lebar
Daun.
Mereka
mendirikan istana Kuto Gawang dan Masjid di Candi Laras (Pusri sekarang).
Pengganti Pangeran Sido Ing Lautan adalah anaknya, Ki Gede Ing Suro
(1552-1573), setelah wafat digantikan oleh Kemas Anom Adipati Ki Gede Ing Suro
Mudo (1573-1630). Kemudian diganti saudaranya Sultan Jamaluddin Mangkurat II
Madi Alit (1629-1630). Kemudian Sultan Jamaluddin III Sido Ing Puro
(1630-1639). Sultan Jamaluddin Mangkurat IV Sido Ing Kenayan (1639-1650).
Sultan Jamaluddin Mangkurat V Sido Ing Peserean (1651-1652). Sultan Jamaluddin
Mangkurat VI Sido Ing Rejek (1652-1659). Sultan Jamaluddin VII Susuhan
abdurrahman Candi Walang (1659-1706). Sultan Muhammad Mansyur (1706-1714).
Sultan Agung Komaruddin (1714-1724). Sultan Mahmud Badaruddin (1724-1757), dst.
Pada
abad ke-16 di Palembang mulai terbentuk dan tumbuh suatu pemerintahan yang
bercorak Islam. Pangeran Aria kesumo (Kemas Hindi) pada tahun 1666
memproklamirkan Palembang menjadi negeri Kesultanan beliau bergelar Sultan
Abdurrahman Khalifatul Mukminin Sayidul Imam berkuasa (1659-1706). Kesultanan
Palembang Darussalam mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan
Mahmud Badaruddin II pada awal abad ke-19. Pada masanya dibangun Masjid Agung
Palembang dan Benteng Kuto Besak. Dengan demikian Islam telah menjadi agama
Kesultanan Palembang Darussalam dan pelaksanaan hukum Islam berdasarkan
ketentuan resmi hingga berakhirnya Kesultanan Palembang Darussalam pada tahun
1823 yang dibubarkan oleh pemerintah kolonial Belanda
Dengan
demikian jelaslah bahwa bahwa sejarah Melayu Palembang dalam perkembangannya
dipengaruhi budaya Jawa , yang paling tidak masih dapat kita sekarang ini
antara lain : Rumah Limas, pakaian adat, dan bahasa.
Bebaso
Bahasa Palembang berasal dari bahasa Melayu Tua yang berbaur dengan bahasa
Jawadan diucapkan menurut logat/dialek Wong Pelembang. Seterusnya bahasa yang
sudah menjadi milik Wong Palembang ini diperkaya pula dengan bahasa-bahasa
Arab, Urdhu, Persia, China, Portugis, Inggris, dan Belanda. Sedangkan aksara
bahasa Melayu Palembang menggunakan aksara Arab (Arab-Melayu) atau tulisan Arab
berbahasa Melayu (arab gundul/pagon).
Kesultanan Palembang Darussalam
mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin II
pada awal abad ke-19.
Sriwijaya dan Pelarian
Politik
Sebagian penduduk Kerajaan
Sriwijaya, jika diselusuri secara genealogy, ternyata ada yang masih terhitung
kerabat Kerajaan Persia.
Hal ini tergambar di dalam kitab
sejarah melayu, yang mengisahkan pemimpin wilayah Palembang, Demang Lebar Daun,
merupakan anak cucu Raja Sulan, keturunan dari Raja Nusirwan ‘Adil bin Kibad
Syahriar (King Anushirvan “The Just” of Persia, 531-578 M).
Ada dugaan keberadaan keluarga
Kerajaan Persia ini, dikarenakan terjadinya konflik internal di Persia,
sepeningal Raja Nusirwan ‘Adil, yang berakibat, sebagian Bangsawan Persia
mengungsi ke Kerajaan Sriwijaya.
Para pelarian politik Persia
ini, dimanfaatkan oleh para penguasa Sriwijaya, untuk dijadikan instruktur di
angkatan perang-nya. Bahkan dalam upaya memperkuat pasukannya, Kerajaan
Sriwijaya mendirikan pangkalan militer di daerah Minanga yang berada di tepian
sungai komering.
Pada tahun 669 Masehi, Sriwijaya
dipimpin oleh Dapunta Hiyang Sri Jayanaga. Sang Raja, dikenal seorang yang
sangat berwibawa, dan dengan kekuatan angkatan perang-nya, yang sangat
terlatih. Sriwijaya mulai menaklukkan beberapa daerah disekitarnya. Bahkan
kemudian Kerajaan induknya, Kerajaan Sribuja berhasil dikuasai.
Pelarian politik juga berasal
dari wilayah Cina. Kedatangan mereka ini disebab-kan terjadinya peristiwa
pemberontakan petani-petani muslim Cina terhadap kekuasaan Dinasti T’ang di
masa pemerintahan Kaisar Hi-Tsung (878-889 M).
Kaum muslimin banyak mati
dibunuh dalam pemberontakan itu, sehingga mereka yang selamat melarikan diri ke
berbagai negara, termasuk ke kota Palembang, yang menjadi pusat Kerajaan
Sriwijaya.
Keberadaan Pelarian Politik asal
Persia dan Cina, Kemudian Para Pedagang Arab yang sekaligus juga juru dakwah
Islam, serta berdirinya pusat-pusat pengajaran agama Buddha di Kerajaan
Sriwijaya, menunjukkan bahwa negeri ini, merupakan daerah yang sangat pluralis,
dimana penduduknya terdiri atas berbagai suku dan ras, serta memiliki keyakinan
yang beragam.
WaLlahu a’lamu bishshawab
Catatan :
1. Keberadaan Akasyah bin Muhsin al-Usdi di Sriwijaya,
diperkirakan setelah perjanjian Hudaibiyah tahun 6H. Pada masa itu, Rasulullah
memperkenalkan Islam melalui surat
yang beliau kirimkan, kepada para penguasa, pemimpin suku, tokoh agama nasrani
dan lain sebagainya.
2. Pendapat yang mengatakan Akasyah bin Muhsin al-Usdi
di Sriwijaya, pada sekitar tahun 2H, nampaknya perlu diteliti lebih mendalam
lagi. Hal ini disebabkan, berdasarkan fakta sejarah, pada saat tersebut, kaum
muslimin sedang berkosentrasi menghadapi kaum kafir Quraish. Jadi terasa agak
aneh, jika ada sahabat yang berada jauh dari kota madinah.
Tradisi Masyarakat Islam
Tradisi ibadah
yang terkodifikasi tanpa modifikasi ini termasuk ibadah wajib (makhdhoh) dan
ibadah sunnah muakadah. Terkadang pada sunah muakadah seperti aqiqah, khitan,
akad nikah dan walimah ada kesan ada tambahan dalamm pelaksanaannya. Selama
tidak bertentangan dengan ajaran tidak bermasalah. Acara tasyakur (di Indonesia
: Syukuran), dalam Islam secara sederhana dalam bentuk berhamdalah, berbagi
melalui tasyakuran dengan tidak berlebih-lebihan (berfoya-foya, kegiatan
mubadzir), dan meningkatkan aktivitas beribadah (berupa shalat dan berkurban :
QS Al Kautsar [108] ayat 1-2). Ritual kematian, sebagai kewajiban kifayah yaitu
selesai setelah prosesi penguburan jenazah, tinggal ahli waris melakukan amanah
sebagai anak sholeh yang selalu mendoakan bagi almarhum/ah dan beramal sholeh
setiap saat yang tidak ditentukan dengan waktu-waktu tertentu. Bagi umat Islam,
menurut ajaran Islam bahwa untuk selalu berhati-hati dalam melakukan ritual
yang dianggap ibadah karena tuntutan tradisi, karena dikhawatirkan amalnya akan
tertolak dan mendatangkan kerugian jangka panjang hingga di hari Perhitungan
kelak. Dan banyak ritual tradisi yang menurut kebanyakan umum belum tentu
sesuai dengan tuntunan ajaran Islam, karena hanya berdasarkan warisan dari
orangtua-orangtua mereka secara lisan tanpa terkodifikasi dan sesuai dengan
tuntunan ajaran Islam.
Bahasa
Bahasa Palembang
mempunyai dua tingkatan, yaitu Bahaso Pelembang Alus atau Bebahaso dan Bahaso Pelembang Sari-sari. Bahaso Pelembang
Alus dipergunakan dalam percakapan dengan pemuka masyarakat, orang-orang tua,
atau orang-orang yang dihormati, terutama dalam upacara-upacara adat. Bahasa
ini berakar pada bahasa Jawa karena raja-raja Palembang berasal dari Kerajaan
Majapahit, Kerajaan Demak, dan Kerajaan Pajang. Itulah sebabnya perbendaharaan
kata Baso Pelembang Alus banyak persamaannya dengan perbendaharaan kata dalam
bahasa Jawa.
Sementara itu, Bahaso sehari-hari
dipergunakan oleh wong Palembang dan berakar pada bahasa Melayu. Dalam
praktiknya sehari-hari, orang Palembang biasanya mencampurkan bahasa ini dan
Bahasa Indonesia (pemilihan kata berdasarkan kondisi dan koherensi) sehingga
penggunaan bahasa Palembang menjadi suatu seni tersendiri.
Bahasa
Palembang memiliki kemiripan dengan bahasa daerah provinsi di sekitarnya,
seperti Jambi, Bengkulu bahkan Jawa (dengan intonasi berbeda). Di Jambi dan
Bengkulu, akhiran 'a' pada kosakata bahasa Indonesia yang diubah menjadi 'o'
banyak ditemukan.
Asal-usul Baso
Pelembang Alus hampir menyerupai bahasa Jawa, oleh sebab itu banyak orang
berasumsi bahwa bahasa Palembang berasal dari Jawa. Namun pada dasarnya
tidaklah demikian, bahkan sebaliknya, identitas Palembang sebagai korabolasi
dari kebudayaan Melayu-Jawa terlepas dari sejarah Palembang itu sendiri.
Menurut sumber sejarah lokal, Kesultanan Palembang muncul melalui proses yang
panjang dan berkaitan erat dengan kerajaan-kerajaan besar dipulau Jawa. Seperti
Kerajaan Majapahit, Demak, Pajang, dan Mataram. Palembang (Melayu-Sriwijaya)
Adat Istiadat
§ Seni
Sejarah tua Palembang serta masuknya
para pendatang dari wilayah lain, telah menjadikan kota ini sebagai kota
multi-budaya. Sempat kehilangan fungsi sebagai pelabuhan besar, penduduk kota
ini lalu mengadopsi budaya Melayu pesisir, kemudian Jawa. Sampai sekarang pun
hal ini bisa dilihat dalam budayanya. Salah satunya adalah bahasa. Kata-kata
seperti "lawang (pintu)", "gedang (pisang)", adalah salah
satu contohnya. Gelar kebangsawanan pun bernuansa Jawa, seperti Raden Mas/Ayu.
Makam-makam peninggalan masa Islam pun tidak berbeda bentuk dan coraknya dengan
makam-makam Islam di Jawa.
Kesenian yang terdapat di Palembang antara lain:
·
Kesenian Dul Muluk (pentas drama
tradisional khas Palembang)
·
Tari-tarian seperti Gending
Sriwijaya yang diadakan sebagai penyambutan kepada tamu-tamu dan tari Tanggai
yang diperagakan dalam resepsi pernikahan
·
Lagu Daerah seperti Melati
Karangan, Dek Sangke, Cuk Mak Ilang, Dirut dan Ribang Kemambang
·
Rumah Adat Palembang adalah
Rumah Limas dan Rumah Rakit
·
Selain itu Kota Palembang
menyimpan salah satu jenis tekstil terbaik di dunia yaitu kain songket. Kain
songket Palembang merupakan salah satu peninggalan Kerajaan Sriwijaya dan di
antara keluarga kain tenun tangan kain ini sering disebut sebagai Ratunya Kain.
Hingga
saat ini kain songket masih dibuat dengan cara ditenun secara manual dan
menggunakan alat tenun tradisional. Sejak zaman dahulu kain songket telah
digunakan sebagai pakaian adat kerajaan. Warna yang lazim digunakan kain
songket adalah warna emas dan merah. Kedua warna ini melambangkan zaman
keemasan Kerajaan Sriwijaya dan pengaruh China di masa lampau. Material yang
dipakai untuk menghasilkan warna emas ini adalah benang emas yang didatangkan
langsung dari China, Jepang dan Thailand. Benang emas inilah yang membuat harga
kain songket melambung tinggi dan menjadikannya sebagai salah satu tekstil
terbaik di dunia.
Selain
kain songket, saat ini masyarakat Palembang tengah giat mengembangkan jenis
tekstil baru yang disebut batik Palembang. Berbeda dengan batik Jawa, batik
Palembang nampak lebih ceria karena menggunakan warna - warna terang dan masih
mempertahankan motif - motif tradisional setempat.
Kota
Palembang juga selalu mengadakan berbagai festival setiap tahunnya antara lain
"Festival Sriwijaya" setiap bulan Juni dalam rangka memperingati Hari
Jadi Kota Palembang, Festival Bidar dan Perahu Hias merayakan Hari Kemerdekaan,
serta berbagai festival memperingati Tahun Baru Hijriah, Bulan Ramadhan dan
Tahun Baru Masehi.
Perkawinan
Budaya pernikahan
ada akad dan walimahan , maka sebelum nikah ada acara pingitan atau siraman,
sesudah akad nikah acara lempar pantun atau cacap-cacapan (budaya Palembang).
Melihat
adat perkawinan Palembang, jelas terlihat bahwa busana dan ritual adatnya
mewariskan keagungan serta kejayaan raja-raja dinasti Sriwijaya yang mengalaimi
keemasan berpengaruh di Semananjung Melayu berabad silam. Pada zaman kesultanan
Palembang berdiri sekitar abad 16 lama berselang setelah runtuhnya
dinasti Sriwijaya, dan pasca Kesultanan pada dasarnya perkawinan ditentukan
oleh keluarga besar dengan pertimbangan bobot, bibit dan bebet.
Pada
masa sekarang ini perkawinan banyak ditentukan oleh kedua pasang calon mempelai
pengantin itu sendiri. Perkawinan Palembang juga memiliki ciri khas yang berbau
islam yaitu pada pengantin laki-laki sebelum duduk di pelaminan yaitu
didahulukan degan adat Palembang yaitu ngarak.
Ngarak ini diiringi dengan rebana dan pengantin perempuan dan keluarga
pengantin perempuan menyambut di tempat resepsi. Adat ini tetap berjalan
seiring dengan berkembangan jaman.
§ Sunatan Secara Adat Palembang
Adat
dan budaya Palembang adalah berlandaskan ajaran-ajaran Islam. Dengan demikian
apabila kita menggali, menghidupkan serta menyemarakkan kembali adat dan budaya
Palembang itu sama saja artinya kita menghidupkan
serta menyemarakkan Syiar Agama Islam. Oleh karena nuansa Islami yang kental
inilah sehingga Ibadat menjadi Adat.
Acara
sunatan dengan adat Palembang paling tidak memberikan gambaran pelaksanaan adat
tempo doeloe yang diwariskan oleh Kesultanan Palembang Darussalam kepada kita
hingga sekarang. Untuk lebih mengenal dan melihat bagaimana pelaksanaan acara
adat terutama tamatan dan sunatan di kota Palembang tempo doeloe, berikut ini
kita hingga kurun tahun 1917 (masa Kolonial).
Menurut
RM Hasir, Demang Palembang Ilir, dalam Monografie dari Districshoofd Palembang
Ilir, (1917), melukiskan pelaksanaan syukuran kedua acara tersebut seperti
berikut:
Adat
Menamatkan
Adat yang paling utama dan
masih dipakai oleh anak negeri waktu itu adalah tentang pemeliharaan anak. Anak
yang telah berusia kira-kira 4-5 tahun, maka ia dibawa kepada seorang ustaz
untuk belajar mengaji Alquran. Orangtua atau wali anak tersebut membawa satu
rago (bakul/keranjang) berisi 20 keping opak, satu tandan pisang mas, sepiring
nasi gemuk (uduk) dengan sebutir telor ayam yang direbus dibenamkan di
tengah-tengah nasi itu dan satu botol minyak pasang yang maknanya supaya anak
itu terang hatinya.
Kalau
anak itu sudah dapat pertengahan Quran mengajinya, maka guru itu pun diberi
pula nasi kunyit panggang ayam, opak, dan pisang mas “selamatan”. Setelah khatam (tamat) Alquran, apabila orangtuanya ada
keluasan rezeki, maka anak itu diselamatkan tamat Quran. Waktu gurunya diberi
sekurang-kurangnya 6 piring juadah kue), 1 nasi dengan 6 piring gulai ayam, 2
gogok/geleta serbat (air jahe), 12 cangkir srikaya, 1 helai kain, baju, kopiah,
dan satu sejadah “petamatan” namanya serta diberi uang. Jika anak itu laki-laki, maka
sekaligus ia langsung dikhitan (sunat), agar supaya tidak terlalu repot
mengerjakannya dua tiga kali.
Add caption |
Sriwijaya dan Utusan
Rasulullah
Dalam manuskrip sejarah Palembang diceritakan : Alkisah tersebutlah dalam satu masa di Bukit Siguntang duduk memerintah seorang raja bernama Raja Sulan yang mempunyai dua orang putra, masing-masing bernama Alim dan Mufti. Alim menjadi sultan setelah ayahandanya wafat, sedangkan Mufti menjadi sultan di Gunung Meru. Setelah Sultan Alim wafat ia digantikan oleh putranya tanpa melalui musyawarah dengan pamannya Sultan Mufti. Karena itu Sultan Mufti bermaksud untuk menurunkan putra Sultan Alim dari kedudukannya sebagai sultan di Bukit Siguntang.
Mendengar cerita tersebut maka putra Sultan Alim beserta rakyat dan pasukannya meninggalkan Bukit Siguntang menuju Indragiri. Mereka menetap di suatu daerah yang mereka pagari dengan uyung sebagai tempat pertahanan. Kemudian tempat tersebut bernama pagaruyung (Padang, Sumatera Barat). Setelah Sultan Mufti wafat, ia digantikan oleh putranya dengan pusat pemerintahan di Lebar Daun bergelar Demang Lebar Daun hingga tujuh turun lebih.
Demang Lebar Daun ini mempunyai seorang saudara kandung bergelar Raja Bungsu. Kemudian Raja Bungsu tersebut hijrah ke tanah Jawa, dinegeri Majapahit, bergelar Prabu Anom Wijaya atau Prabu Wijaya/Brawijaya sampai tujuh turun pula. Brawijaya yang terakhir memiliki putra bernama Aria Damar atau Aria Dilah dikirim ke tanah asal nenek moyangnya yaitu Palembang, ia dinikahkan dengan anak Demang Lebar Daun dan diangkat menjadi raja (1445 – 1486).
Ia juga mendapat kiriman seorang putri China yang sedang hamil, yakni istri ayahnya yang diamanatkan kepadanya untuk mengasuh dan merawatnya. Sang putri ini melahirkan putrj yang diberi nama Raden Fatah atau bergelar Panembahan Palembang, yang kemudian menjadi raja pertama di Demak. Pada saat Raden Fatah menjadi Raja Demak (1478 – 1518), ia berhasil membesarkan kekuasaannya dan menjadikan Demak Kerajaan Islam pertama di Jawa.
Mereka mendirikan istana Kuto Gawang dan Masjid di Candi Laras (Pusri sekarang). Pengganti Pangeran Sido Ing Lautan adalah anaknya, Ki Gede Ing Suro (1552-1573), setelah wafat digantikan oleh Kemas Anom Adipati Ki Gede Ing Suro Mudo (1573-1630). Kemudian diganti saudaranya Sultan Jamaluddin Mangkurat II Madi Alit (1629-1630). Kemudian Sultan Jamaluddin III Sido Ing Puro (1630-1639). Sultan Jamaluddin Mangkurat IV Sido Ing Kenayan (1639-1650). Sultan Jamaluddin Mangkurat V Sido Ing Peserean (1651-1652). Sultan Jamaluddin Mangkurat VI Sido Ing Rejek (1652-1659). Sultan Jamaluddin VII Susuhan abdurrahman Candi Walang (1659-1706). Sultan Muhammad Mansyur (1706-1714). Sultan Agung Komaruddin (1714-1724). Sultan Mahmud Badaruddin (1724-1757), dst.
Pada abad ke-16 di Palembang mulai terbentuk dan tumbuh suatu pemerintahan yang bercorak Islam. Pangeran Aria kesumo (Kemas Hindi) pada tahun 1666 memproklamirkan Palembang menjadi negeri Kesultanan beliau bergelar Sultan Abdurrahman Khalifatul Mukminin Sayidul Imam berkuasa (1659-1706). Kesultanan Palembang Darussalam mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin II pada awal abad ke-19. Pada masanya dibangun Masjid Agung Palembang dan Benteng Kuto Besak. Dengan demikian Islam telah menjadi agama Kesultanan Palembang Darussalam dan pelaksanaan hukum Islam berdasarkan ketentuan resmi hingga berakhirnya Kesultanan Palembang Darussalam pada tahun 1823 yang dibubarkan oleh pemerintah kolonial Belanda
Dengan demikian jelaslah bahwa bahwa sejarah Melayu Palembang dalam perkembangannya dipengaruhi budaya Jawa , yang paling tidak masih dapat kita sekarang ini antara lain : Rumah Limas, pakaian adat, dan bahasa.
Bebaso Bahasa Palembang berasal dari bahasa Melayu Tua yang berbaur dengan bahasa Jawadan diucapkan menurut logat/dialek Wong Pelembang. Seterusnya bahasa yang sudah menjadi milik Wong Palembang ini diperkaya pula dengan bahasa-bahasa Arab, Urdhu, Persia, China, Portugis, Inggris, dan Belanda. Sedangkan aksara bahasa Melayu Palembang menggunakan aksara Arab (Arab-Melayu) atau tulisan Arab berbahasa Melayu (arab gundul/pagon).
Sementara itu, Bahaso sehari-hari dipergunakan oleh wong Palembang dan berakar pada bahasa Melayu. Dalam praktiknya sehari-hari, orang Palembang biasanya mencampurkan bahasa ini dan Bahasa Indonesia (pemilihan kata berdasarkan kondisi dan koherensi) sehingga penggunaan bahasa Palembang menjadi suatu seni tersendiri.
Bahasa Palembang memiliki kemiripan dengan bahasa daerah provinsi di sekitarnya, seperti Jambi, Bengkulu bahkan Jawa (dengan intonasi berbeda). Di Jambi dan Bengkulu, akhiran 'a' pada kosakata bahasa Indonesia yang diubah menjadi 'o' banyak ditemukan.
Sejarah tua Palembang serta masuknya para pendatang dari wilayah lain, telah menjadikan kota ini sebagai kota multi-budaya. Sempat kehilangan fungsi sebagai pelabuhan besar, penduduk kota ini lalu mengadopsi budaya Melayu pesisir, kemudian Jawa. Sampai sekarang pun hal ini bisa dilihat dalam budayanya. Salah satunya adalah bahasa. Kata-kata seperti "lawang (pintu)", "gedang (pisang)", adalah salah satu contohnya. Gelar kebangsawanan pun bernuansa Jawa, seperti Raden Mas/Ayu. Makam-makam peninggalan masa Islam pun tidak berbeda bentuk dan coraknya dengan makam-makam Islam di Jawa.
Kesenian yang terdapat di Palembang antara lain:
Hingga saat ini kain songket masih dibuat dengan cara ditenun secara manual dan menggunakan alat tenun tradisional. Sejak zaman dahulu kain songket telah digunakan sebagai pakaian adat kerajaan. Warna yang lazim digunakan kain songket adalah warna emas dan merah. Kedua warna ini melambangkan zaman keemasan Kerajaan Sriwijaya dan pengaruh China di masa lampau. Material yang dipakai untuk menghasilkan warna emas ini adalah benang emas yang didatangkan langsung dari China, Jepang dan Thailand. Benang emas inilah yang membuat harga kain songket melambung tinggi dan menjadikannya sebagai salah satu tekstil terbaik di dunia.
Selain kain songket, saat ini masyarakat Palembang tengah giat mengembangkan jenis tekstil baru yang disebut batik Palembang. Berbeda dengan batik Jawa, batik Palembang nampak lebih ceria karena menggunakan warna - warna terang dan masih mempertahankan motif - motif tradisional setempat.
Kota Palembang juga selalu mengadakan berbagai festival setiap tahunnya antara lain "Festival Sriwijaya" setiap bulan Juni dalam rangka memperingati Hari Jadi Kota Palembang, Festival Bidar dan Perahu Hias merayakan Hari Kemerdekaan, serta berbagai festival memperingati Tahun Baru Hijriah, Bulan Ramadhan dan Tahun Baru Masehi.
Pada masa sekarang ini perkawinan banyak ditentukan oleh kedua pasang calon mempelai pengantin itu sendiri. Perkawinan Palembang juga memiliki ciri khas yang berbau islam yaitu pada pengantin laki-laki sebelum duduk di pelaminan yaitu didahulukan degan adat Palembang yaitu ngarak. Ngarak ini diiringi dengan rebana dan pengantin perempuan dan keluarga pengantin perempuan menyambut di tempat resepsi. Adat ini tetap berjalan seiring dengan berkembangan jaman.
Adat dan budaya Palembang adalah berlandaskan ajaran-ajaran Islam. Dengan demikian apabila kita menggali, menghidupkan serta menyemarakkan kembali adat dan budaya Palembang itu sama saja artinya kita menghidupkan
serta menyemarakkan Syiar Agama Islam. Oleh karena nuansa Islami yang kental inilah sehingga Ibadat menjadi Adat.
Acara sunatan dengan adat Palembang paling tidak memberikan gambaran pelaksanaan adat tempo doeloe yang diwariskan oleh Kesultanan Palembang Darussalam kepada kita hingga sekarang. Untuk lebih mengenal dan melihat bagaimana pelaksanaan acara adat terutama tamatan dan sunatan di kota Palembang tempo doeloe, berikut ini kita hingga kurun tahun 1917 (masa Kolonial).
Menurut RM Hasir, Demang Palembang Ilir, dalam Monografie dari Districshoofd Palembang Ilir, (1917), melukiskan pelaksanaan syukuran kedua acara tersebut seperti berikut:
Adat Menamatkan
Kalau anak itu sudah dapat pertengahan Quran mengajinya, maka guru itu pun diberi pula nasi kunyit panggang ayam, opak, dan pisang mas “selamatan”. Setelah khatam (tamat) Alquran, apabila orangtuanya ada keluasan rezeki, maka anak itu diselamatkan tamat Quran. Waktu gurunya diberi sekurang-kurangnya 6 piring juadah kue), 1 nasi dengan 6 piring gulai ayam, 2 gogok/geleta serbat (air jahe), 12 cangkir srikaya, 1 helai kain, baju, kopiah, dan satu sejadah “petamatan” namanya serta diberi uang. Jika anak itu laki-laki, maka sekaligus ia langsung dikhitan (sunat), agar supaya tidak terlalu repot mengerjakannya dua tiga kali.